Jumat, 29 Juli 2016

Urbanisasi yang digerakkan oleh pasar membuat penduduk berlimpah, mengakibatkan sejumlah akses tersumbat. Tiga di antaranya adalah air, perumahan dan sanitasi. Konon 350 kawasan perkotaan Asia Pasifik berkembang melampaui batas administratifnya, sehingga memecah-belah manajemen dan sumber pendapatan penduduknya. (WB report; East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a decade of Spatial Growth).

Beberapa kota bahkan bergabung menjadi entitas. Namun administrasinya masih diatur terpisah. Padahal seharusnya dapat dikelola oleh satu manajemen kota. Inilah yang disebut dengan fragmentasi metropolitan (Axel van Trotensburg: 2015).Tengok saja luas Jakarta yang melintasi 12 pemerintahan kabupaten/kota se-Jabodetabek, menyatukan aktivitas penduduknya dalam sebuah kawasan yang berasal dari provinsi berbeda, yakni DKI, Banten dan Jabar. Aktivitas sosiologis penduduk di 12 kota tersebut telah berbaur tanpa batas. Hanya, secara administratif mereka harus terpisah. Jika kesenjangan desa-kota terus dibiarkan, akan banyak kota bernasib sama: dikepung warga desa dan sub urban (pinggiran), dengan segala perilakunya. Bekerja di Jakarta, tapi pulang ke Bogor, Depok atau Bekasi.

Inilah mengapa perlu pembangunan yang diarahkan berperspektif kawasan, yang memungkinkan kerja sama antardesa/kelurahan, antarkecamatan bahkan antarkabupaten/kota. Apa manfaat yang diraih? Tentu saja penyelesaian makin cepat, beban menjadi lebih ringan, tanggung jawab terbangun, dan sumberdaya terbagi. Semua saling melengkapi.

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemPUPR) terdapat 3 hal yang menjadi kebutuhan dasar hidup warga, yaitu air, perumahan dan sanitasi. Ketiganya akan ditangani secara komprehensif hingga dipastikan 100% rakyat mampu mengakses air minum, 0 % permukiman kumuh hilang, dan 100% rakyat mampu mengakses sanitasi yang layak.

Peningkatan Kualitas Permukiman Desa-Kota

Saat ini, di seluruh negeri, masih terdapat 38.431 Ha kawasan kumuh perkotaan. Lokasi kumuh tersebut tersebar di 231 kabupaten/kota dan telah di SK-kan oleh kepala daerah untuk ditangani. Persoalannya, apakah semua lokasi kumuh tersebut berada di kawasan perkotaan? Bagaimana yang berada di lokasi perdesaan? Masihkah menjadi tanggung jawab KemPUPR? Sementara regulasi Nasional telah membelah pemerintahan menjadi dua bidang: perkotaan dan perdesaan. Kawasan Perkotaan dapat dicandrai dari wilayah administratifnya yang berbentuk kelurahan, tunduk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sementara itu, Kawasan Perdesaan ditandai dengan wilayah administratif pemerintahan desa, berciri agraris dan didominasi mata pencaharian lokal berdasar geografisnya, tunduk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

P2KP sebagai Program peningkatan kualitas permukiman, yang notabene adalah bagian dari PUPR, telah kembali menjadi program sektor. P2KP bermaksud menembus kotak-kotak desa dam kota tersebut. UU Pemda dan UU Desa tetap digunakan sebagai landasan tanpa dikotomi. Bagi P2KP, bertransformasi menjadi program sektor permukiman dan infrastruktur perlu waktu. Namun di perkotaan lebih mudah, karena tinggal menguatkan perencanaan kelurahan melalui PJM Pronangkis yang dimiliki masyarakat. Namun, di perdesaan, harus meleburkan PJM Pronangkis terlebih dahulu ke dalam RPJM Desa. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh P2KP. Semua program sektor lain harus menjalani langkah serupa. Sebab, Pasal 79 UU Desa sudah meniadakan perencanaan lain di luar RPJM Desa.

Dengan kata lain hanya RPJM Desalah yang legal dan diakui. Maka dari itu seluruh energi masyarakat mesti dicurahkan fokus untuk penyusunan RPJM Desa. Apalagi dana desa telah ditransfer ke rekening desa. PJM Pronangkis yang dulu, dibuat hanya sebagai data sekunder pada proses pengkajian desa. Dan, untuk selanjutnya P2KP akan konsisten menguatkan bidang pembangunan khususnya pada sektor permukiman saja. Target peningkatan kualitas permukiman 2019 tercantum dalam RPJMN, yang disebut 100-0-100, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, bagaimana P2KP menguatkan RPJM Desa?

P2KP Menguatkan RPJM Desa

Sebagaimana diketahui, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Permendagri no 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa menyebutkan bahwa RPJM Desa memuat: 1) Visi dan misi kepala desa, 2) Arah kebijakan pembangunan desa, dan 3) rencana kegiatan yang meliputi: (a) penyelenggaraan pemerintahan desa, (b) pelaksanaan pembangunan desa, (c) pembinaan kemasyarakatan desa, dan (e) pemberdayaan masyarakat desa.
P2KP menguatkan RPJM Desa hanya pada bagian (b) dan (e), bidang pembangunan dan pemberdayaan. Pada kedua bidang tersebut ditemukan “lahan garap” sektor permukiman yang dikuatkan 100-0-100-nya. Sesuai dengan penyebutan asli di dalam Pasal 6, kegiatan yang termasuk dalam sektor permukiman tersebut, antara lain, lingkungan permukiman masyarakat desa, jalan permukiman, air bersih berskala desa, sanitasi lingkungan, pelayananan kesehatan dan pendidikan.

Kegiatan-kegiatan tersebut akan diasah dan dikorelasikan agar memenuhi target 100-0-100, menggunakan 7 indikator permukiman dan penanganan kumuh. Ketujuh indikator tersebut adalah keteraturan bangunan, jalan lingkungan, pengelolaan sampah, air minum, drainase lingkungan, air limbah dan pengamanan kebakaran.
Tak pelak semua SKPD mesti terlibat dalam penanganannya, terutama Dinas PU, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Ketiga SKPD tersebut dalam Lokakarya Penguatan RPJM Desa di Aceh 26-27 Agustus 2015, terbukti dan disepakati sebagai SKPD yang paling bertanggung jawab untuk merencanakan pembangunan tersistem, mendesain perencanaan antarkawasan, meningkatkan kualitas permukiman, membangun infrastruktur, dan memberdayakan masyarakat termasuk penguatan peran berbasis kesetaraan gender. Bagaimana pembagian perannya?

Di bidang pembangunan, P2KP hanya bagian dari sektor pembangunan infrastruktur perdesaan yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas permukiman. Dalam pelaksanaannya akan menggunakan metode partisipatif sebagaimana telah dikembangkan selama ini via PNPM Perkotaan. Dus, polanya sejalan dengan pemberdayaan yang digerakkan oleh BPM. Dalam menyusun perencanaan juga partisipatif dan sejalan dengan planning daerah yang telah disusun oleh Bappeda. Baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau spatial plan, maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMDaerah) ataudevelopment plan. Selengkapnya tertuang dalam gambar.

Situasi tersebut bisa berbeda-beda di tiap wilayah/kabupaten/kota, sehingga pola kolaborasi di Aceh hanya ilustrasi. Bisa diterapkan sesuai kondisi masing-masing daerah. Selengkapnya dapat dibaca pada tulisan TA Sosialisasi OSP 10 Aceh Ma'mun Suryana tentang RPJM Gampong 100-0-100. (Baca: RPJM Gampong Berorientasi 100-0-100 Responsif Gender).


Benangnya adalah ada atau tidaknya kawasan kumuh di desa, P2KP tetap menguatkan kualitas permukiman, akses air minum dan sanitasi yang sehat. Sebuah keyword untuk mengurangi kemiskinan hingga 2019 kelak. Tulisan ini sekaligus meng-updatetulisan saya sebelumnya tentang Integrasi PJM Pronangkis ke dalam RPJM Desa. [KMP-2]
Penulis :
Tomy Risqi TA Kelembagaan dan 
Fasilitasi Kegiatan Sosial
KMP P2KP wilayah 2

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Polling Pengunjung

Penterjemah

Popular Posts

Recent Posts

Tujuan Buat Blog

Media Komunikasi antar individu dan saling bertukar informasi misalnya jejaring sosial, Media expresi pribadi maupun kelompok, Menyediakan sarana penyebar Ilmu Pengetahuan, Tempat untuk belajar baik dengan interaktif langsung maupun Forum, Sarana berbagi file baik berupa program maupun data.