Jumat, 29 Juli 2016

Perbincangan mengenai UU Desa No. 06 Tahun 2014 dan PP 43 Tahun 2014 dewasa ini tak bisa dihindari. Dana Rp1,4 miliar yang dimandatkan oleh UU melahirkan dua perspektif di berbagai kalangan, terutama masyarakat desa. Pertama, apakah dana tersebut secara langsung atau tidak mengalir ke desa. Kedua, apakah mekanisme pencairannya bertahap atau tidak. Perdebatan ini menjadi hangat diperbincangkan manakala UU Desa ini akan diterapkan pada tahun 2015.

Semangat untuk melakukan akselarasi kesejahteraan masyarakat desa dalam UU Desa tak bisa dimungkiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 4 mengenai Pembangunan Desa UU No. 6 Tahun 2014: a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; e) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h) memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Oleh karena itu perlu diapresiasi bahwa semangat UU ini merupakan terobosan baru agar stigma terhadap masyarakat desa bahwa desa menjadi hunian dimana masyarakatnya memiliki SDM rendah, ketinggalan akses informasi, terbelakang dan kemiskinan, jadi hilang. Itu semua menjadi potret kelam yang seringkali disematkan kepada masyarakat desa. Tentu penilaian ini di satu sisi memiliki keabsahan yang tidak bisa dibantah.

Munculnyna gerakan arus urbanisasi mengenai masyarakat desa mengadu nasib ke kota menjadi contoh yang paling sohih. Bahwa desa tidak mampu memberikan jaminan hidup dan kesejahteraan hidup bagi sebagian besar yang dialami oleh masyarakat desa. Maka wajar manakala desa dipandang sebelah mata dan dinilai terbelakang oleh kebanyakan orang yang dinilai tidak prospek dalam memberikan jaminan kesejahteraan untuk masa depannya.

Menjadi keniscayaan bahwa mendorong desa menjadi sejahtera dan mandiri adalah tanggung jawab semua pihak. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik desa maupun pemerintah daerah saja, melainkan keterlibatan semua pihak menjadi mutlak adanya. Kesejahteraan masyarakat desa, kemajuan desa, dan kemandirian desa tidak akan terwujud manakala seluruh elemen masyarakat dari berbagai kalangan berpartisipasi dalam membangun desa. Jika aspek legalitas yang menjadi ukuran, maka kesejahteraan masyarakat desa akan berhenti pada tataran normatif dan lip service. Jauh panggang dari api. Oleh karena itu semua stakeholder harus bersatu padu agar kesejahteraan desa benar terwujud.

Perlu kiranya merinci secara detail apa itu yang dimasud dengan mandiri dan kesejahteraan. Hal ini penting sehingga tidak melahirkan multitafsir, kriteria dan ukuran kesejahteraan dan kemandirian itu bersifat abstrak, yang sulit untuk dideskripsikan. Dengan demikian cita-cita UU Desa itu mengenai kesejahteraan masyarakat dan kemandirian itu tidak sekadar ilusi dan mimpi yang sulit dicapai.

Meminjam istilah Midgley (1997:5) dalam Isband Rukminto bahwa kesejahteraan sosial keadaan atau kondisi hidup manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik ketika kebutuhan manusia terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasi. Hal ini juga dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2009 Pasal I ayat (a) Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Begitu juga dengan makna dan pengertian mandiri. Menurut Basri (1995) kemandirian itu berasal dari kata mandiri. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, dimana dalam bahasa sehari-hari berarti berdiri sendiri. Lebih detail Basri mengatakan bahwa dalam perspektif psikologis bahwa kemandirian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Merunut dari berbagai definisi ahli bahwa pembangunan desa adalah sebagai upaya serius pemerintah untuk meningkakan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan bahwa kesejahteraan dan kemandirian desa hanya menjadi komoditas politik yang berimplikasi terhadap stagnasi dan degradasi tujuan kesejahteraan masyarakat desa.

Kawasan Perdesaan dan Tantangan

Spirit UU Desa dalam melahirkan desa maju dan mandiri tentu tak bisa dilakukan secara parsial. Jalan terjal membangun desa tentu akan menjadi bagian dari dinamika masyarakat dalam mengawal perubahan di mana jika sebelumnya desa hanya memikirkan mengenai desanya sendiri tanpa banyak memikirkan dan melakukan sinergi-koordinasi dan komunikasi dengan desa-desa lain atau desa tetangga yang secara geografis berdekatan. Pembangunan desa kawasan adalah ikhtiar baru pemerintah untuk menuju kemandirian desa.

Adalah Mohammad Solekhan dalam bukunya Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat (2014: 70-71) bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antardesa dalam satu kabupaten yang meliputi. Pertama, penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Kedua, pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Ketiga, pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan dan pengembagan teknologi tepat guna.Keempat, pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

Orientasi pembangunan kawasan perdesaan tersebut adalah mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Mandat UU Desa mengenai desa kawasan sebagai langkah progresif, dimana selama ini pembangunan yang sektoral dan egosentris bisa dieleminir secara perlahan-lahan. Impian kemandirian desa melalui sinergi dan kolaborasi antardesa dalam rangka mempercepat kesejahteraan masyarakat desa menjadi kebutuhan yang mendesak dan mutlak.

Pembangunan pelaksanaan kawasan perdesaan itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota melalui satuan kerja perangkat daerah, pemerintah desa dan/atau BUMD dengan mengikutsertakan masyarakat desa tentu dalam pelaksanaan teknis di lapangan bahwa pembangunan kawasan perdesaan wajib mengoptimalkan sumber daya alam setempat, sumber daya manusia setempat.

Dengan adanya mandat UU bahwa desa kawasan merupakan jangkar ekonomi desa bisa tumbuh secara kokoh. Pembangunan manusia dari sisi keterampilan dan kemampuan SDM harus bersenyawa dengan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi. Maka dari itu, kegiatan dan pengembangan ekonomi desa bisa bekerjasaa secara elegan yang bisa dilakukan oleh beberapa desa. Ketentuan mengenai jumlah desa kawasan memang tidak diatur secara mendetail, akan tetapi menjadi kebutuhan bersama bagi desa untuk sharing potensi antardesa, baik potensi manusia maupun sumberdaya alam. Bahkan pemasaran pun bisa melakukan sharing dan sinergi.

Maka jawaban mengenai desa kawasan seperti yang diamanahkan dalam UU Desa mengenai kerja sama antardesa atau dengan pihak ketiga. Bentuk kerjasama meliputi: 1) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; 2) kegiatan kemasyarakatan, pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa dan/atau; 3) bidang keamanan dan ketertiban. Sementara terkait kerja sama pihak ketiga dimaksutkan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.


Dalam hal ini yang lebih memungkinkan dilakukan adalah bahwa pihak ketiga yang dimaksud adalah bisa saja mengandeng perguruan tinggi yang ahli dan memiliki kualifikasi disiplin keilmuan mengenai permasalahan sosial, pengembangan masyarakat dan teknis pendampingan baik mikro, mezzo dan makro. Begitu juga bekerja sama dengan para aktivis LSM yang memiliki konsen dalam pemberdayaan masyarakat dan pemetaan sosial. Sehingga sinergi pembangunan desa tidak hanya menjadi domain pemerintah saja tetapi ada pihak luar yang lebih obyektif dalam melakukan pengembangan pembangunan desa. Semoga mimpi membangun kawasan perdesaan sebagai ikhtiar progresif dan profetik dalam membangun kesejahteraan masyarakat desa yang sebenar-benarnya. 
Penulis :
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun 
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Polling Pengunjung

Penterjemah

Popular Posts

Recent Posts

Tujuan Buat Blog

Media Komunikasi antar individu dan saling bertukar informasi misalnya jejaring sosial, Media expresi pribadi maupun kelompok, Menyediakan sarana penyebar Ilmu Pengetahuan, Tempat untuk belajar baik dengan interaktif langsung maupun Forum, Sarana berbagi file baik berupa program maupun data.