Selasa, 02 Agustus 2016




Jumat, 29 Juli 2016

Urbanisasi yang digerakkan oleh pasar membuat penduduk berlimpah, mengakibatkan sejumlah akses tersumbat. Tiga di antaranya adalah air, perumahan dan sanitasi. Konon 350 kawasan perkotaan Asia Pasifik berkembang melampaui batas administratifnya, sehingga memecah-belah manajemen dan sumber pendapatan penduduknya. (WB report; East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a decade of Spatial Growth).

Beberapa kota bahkan bergabung menjadi entitas. Namun administrasinya masih diatur terpisah. Padahal seharusnya dapat dikelola oleh satu manajemen kota. Inilah yang disebut dengan fragmentasi metropolitan (Axel van Trotensburg: 2015).Tengok saja luas Jakarta yang melintasi 12 pemerintahan kabupaten/kota se-Jabodetabek, menyatukan aktivitas penduduknya dalam sebuah kawasan yang berasal dari provinsi berbeda, yakni DKI, Banten dan Jabar. Aktivitas sosiologis penduduk di 12 kota tersebut telah berbaur tanpa batas. Hanya, secara administratif mereka harus terpisah. Jika kesenjangan desa-kota terus dibiarkan, akan banyak kota bernasib sama: dikepung warga desa dan sub urban (pinggiran), dengan segala perilakunya. Bekerja di Jakarta, tapi pulang ke Bogor, Depok atau Bekasi.

Inilah mengapa perlu pembangunan yang diarahkan berperspektif kawasan, yang memungkinkan kerja sama antardesa/kelurahan, antarkecamatan bahkan antarkabupaten/kota. Apa manfaat yang diraih? Tentu saja penyelesaian makin cepat, beban menjadi lebih ringan, tanggung jawab terbangun, dan sumberdaya terbagi. Semua saling melengkapi.

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemPUPR) terdapat 3 hal yang menjadi kebutuhan dasar hidup warga, yaitu air, perumahan dan sanitasi. Ketiganya akan ditangani secara komprehensif hingga dipastikan 100% rakyat mampu mengakses air minum, 0 % permukiman kumuh hilang, dan 100% rakyat mampu mengakses sanitasi yang layak.

Peningkatan Kualitas Permukiman Desa-Kota

Saat ini, di seluruh negeri, masih terdapat 38.431 Ha kawasan kumuh perkotaan. Lokasi kumuh tersebut tersebar di 231 kabupaten/kota dan telah di SK-kan oleh kepala daerah untuk ditangani. Persoalannya, apakah semua lokasi kumuh tersebut berada di kawasan perkotaan? Bagaimana yang berada di lokasi perdesaan? Masihkah menjadi tanggung jawab KemPUPR? Sementara regulasi Nasional telah membelah pemerintahan menjadi dua bidang: perkotaan dan perdesaan. Kawasan Perkotaan dapat dicandrai dari wilayah administratifnya yang berbentuk kelurahan, tunduk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sementara itu, Kawasan Perdesaan ditandai dengan wilayah administratif pemerintahan desa, berciri agraris dan didominasi mata pencaharian lokal berdasar geografisnya, tunduk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

P2KP sebagai Program peningkatan kualitas permukiman, yang notabene adalah bagian dari PUPR, telah kembali menjadi program sektor. P2KP bermaksud menembus kotak-kotak desa dam kota tersebut. UU Pemda dan UU Desa tetap digunakan sebagai landasan tanpa dikotomi. Bagi P2KP, bertransformasi menjadi program sektor permukiman dan infrastruktur perlu waktu. Namun di perkotaan lebih mudah, karena tinggal menguatkan perencanaan kelurahan melalui PJM Pronangkis yang dimiliki masyarakat. Namun, di perdesaan, harus meleburkan PJM Pronangkis terlebih dahulu ke dalam RPJM Desa. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh P2KP. Semua program sektor lain harus menjalani langkah serupa. Sebab, Pasal 79 UU Desa sudah meniadakan perencanaan lain di luar RPJM Desa.

Dengan kata lain hanya RPJM Desalah yang legal dan diakui. Maka dari itu seluruh energi masyarakat mesti dicurahkan fokus untuk penyusunan RPJM Desa. Apalagi dana desa telah ditransfer ke rekening desa. PJM Pronangkis yang dulu, dibuat hanya sebagai data sekunder pada proses pengkajian desa. Dan, untuk selanjutnya P2KP akan konsisten menguatkan bidang pembangunan khususnya pada sektor permukiman saja. Target peningkatan kualitas permukiman 2019 tercantum dalam RPJMN, yang disebut 100-0-100, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, bagaimana P2KP menguatkan RPJM Desa?

P2KP Menguatkan RPJM Desa

Sebagaimana diketahui, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Permendagri no 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa menyebutkan bahwa RPJM Desa memuat: 1) Visi dan misi kepala desa, 2) Arah kebijakan pembangunan desa, dan 3) rencana kegiatan yang meliputi: (a) penyelenggaraan pemerintahan desa, (b) pelaksanaan pembangunan desa, (c) pembinaan kemasyarakatan desa, dan (e) pemberdayaan masyarakat desa.
P2KP menguatkan RPJM Desa hanya pada bagian (b) dan (e), bidang pembangunan dan pemberdayaan. Pada kedua bidang tersebut ditemukan “lahan garap” sektor permukiman yang dikuatkan 100-0-100-nya. Sesuai dengan penyebutan asli di dalam Pasal 6, kegiatan yang termasuk dalam sektor permukiman tersebut, antara lain, lingkungan permukiman masyarakat desa, jalan permukiman, air bersih berskala desa, sanitasi lingkungan, pelayananan kesehatan dan pendidikan.

Kegiatan-kegiatan tersebut akan diasah dan dikorelasikan agar memenuhi target 100-0-100, menggunakan 7 indikator permukiman dan penanganan kumuh. Ketujuh indikator tersebut adalah keteraturan bangunan, jalan lingkungan, pengelolaan sampah, air minum, drainase lingkungan, air limbah dan pengamanan kebakaran.
Tak pelak semua SKPD mesti terlibat dalam penanganannya, terutama Dinas PU, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Ketiga SKPD tersebut dalam Lokakarya Penguatan RPJM Desa di Aceh 26-27 Agustus 2015, terbukti dan disepakati sebagai SKPD yang paling bertanggung jawab untuk merencanakan pembangunan tersistem, mendesain perencanaan antarkawasan, meningkatkan kualitas permukiman, membangun infrastruktur, dan memberdayakan masyarakat termasuk penguatan peran berbasis kesetaraan gender. Bagaimana pembagian perannya?

Di bidang pembangunan, P2KP hanya bagian dari sektor pembangunan infrastruktur perdesaan yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas permukiman. Dalam pelaksanaannya akan menggunakan metode partisipatif sebagaimana telah dikembangkan selama ini via PNPM Perkotaan. Dus, polanya sejalan dengan pemberdayaan yang digerakkan oleh BPM. Dalam menyusun perencanaan juga partisipatif dan sejalan dengan planning daerah yang telah disusun oleh Bappeda. Baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau spatial plan, maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMDaerah) ataudevelopment plan. Selengkapnya tertuang dalam gambar.

Situasi tersebut bisa berbeda-beda di tiap wilayah/kabupaten/kota, sehingga pola kolaborasi di Aceh hanya ilustrasi. Bisa diterapkan sesuai kondisi masing-masing daerah. Selengkapnya dapat dibaca pada tulisan TA Sosialisasi OSP 10 Aceh Ma'mun Suryana tentang RPJM Gampong 100-0-100. (Baca: RPJM Gampong Berorientasi 100-0-100 Responsif Gender).


Benangnya adalah ada atau tidaknya kawasan kumuh di desa, P2KP tetap menguatkan kualitas permukiman, akses air minum dan sanitasi yang sehat. Sebuah keyword untuk mengurangi kemiskinan hingga 2019 kelak. Tulisan ini sekaligus meng-updatetulisan saya sebelumnya tentang Integrasi PJM Pronangkis ke dalam RPJM Desa. [KMP-2]
Penulis :
Tomy Risqi TA Kelembagaan dan 
Fasilitasi Kegiatan Sosial
KMP P2KP wilayah 2

Pola Persebaran dan Permukiman Desa Berkaitan dengan Bentang Alam - Bentuk persebaran desa yang terdapat di permukaan bumi berbeda satu sama lain. Hal ini sangat bergantung pada keadaan alamiah wilayahnya. Sebagai contoh, bentuk desa yang terletak di wilayah pegunungan tentunya sangat berbeda dibandingkan dengan di kawasan pantai. Pola persebaran ini berkaitan erat dengan kondisi tata ruang di desa itu sendiri.

Ciri-ciri pola tata ruang di perdesaan antara lain sebagai berikut :
·          Tempat untuk memberi kehidupan kepada manusia cukup luas.
·           Wilayah perdesaan dekat dengan areal pertanian.
·           Di daerah subur, pola penyebarannya cenderung mengelompok.
·           Pola penyebaran desa di daerah kurang subur cenderung memencar.
·           Perdesaan umumnya dekat dengan sumber air.
·           Perdesaan terlihat hijau karena banyak tanaman pertanian.
·           Daerah perdesaan umumnya berlokasi di daerah pedalaman.
·           Masyarakatnya berhubungan erat dengan kondisi alam yang berpengaruh terhadap tata kehidupan desa.
·           Kondisi alam yang berpengaruh erat dengan masyarakat perdesaan antara lain tanah, tata air, iklim, dan hujan.
·           Udara perdesaan masih segar karena belum terkena polusi.

Beberapa contoh pola persebaran dan permukiman desa antara lain sebagai   berikut :
·           Pola desa mengikuti bentuk alur sungai, dengan tujuan memudahkan transportasi dan mencari air.
·           Pola desa mengikuti bentuk tepi pantai, dengan tujuan memudahkan dalam mencari ikan dan hasil laut lainnya.
·           Pola desa berkelompok di daerah pertanian, dengan tujuan me mudah kan perjalanan ke tegalan atau sawah, baik untuk mengolah ataupun mengawasi areal pertanian.
·           Pola desa terpencar-pencar, biasanya dikarenakan keadaan alam yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan mencari tempat yang dekat dengan air, tanah yang subur, kaya mineral, iklim yang cocok, dan daerah yang aman.

Daldjoeni (1987) mengemukakan bahwa ditinjau dari pola tata guna lahannya, ada empat bentuk perdesaan yang banyak dijumpai di Indonesia. Keempat bentuk desa tersebut adalah sebagai berikut :

a. Bentuk desa linear atau memanjang mengikuti jalur jalan raya atau alur sungai. 
Pola semacam ini dapat dijumpai di daerah dataran, terutama dataran rendah. Tujuan utama bentuk desa yang linear atau memanjang adalah mendekati prasarana transportasi (jalan atau alur sungai) sehingga memudahkan mobilitas manusia, barang, dan jasa.

b. Bentuk desa yang memanjang mengikuti garis pantai.
Pola ini terbentang disepanjang pesisir pantai, hal ini terbentuk karena berdasarkan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan.

c. Bentuk desa terpusat. 
Bentuk desa semacam ini banyak dijumpai di wilayah pegunungan. Wilayah pegunungan biasanya dihuni oleh penduduk yang berasal dari keturunan yang sama sehingga antara sesama warga masih merupakan saudara atau kerabat.

d. Bentuk desa yang mengelilingi fasilitas tertentu. 


Bentuk semacam ini banyak dijumpai di wilayah dataran rendah dan memiliki fasilitas umum yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat, seperti mata air, danau, waduk, dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Pembangunan yang berisikan pengertian pembangunan fisik dan pembangunan non fisik di dalam kehidupan masyarakat. Semoga bagi kalian yang sedang membutuhkan artikel ini untuk sebagai syarat melengkapi tugas sekolah, kuliah bahkan untuk tugas akhir/ skripsi agar dapat bermanfaat. Berikut ini adalah penjelasannya.

1.  Pembangunan Fisik

Fisik dalam istilah pembangunan meliputi sarana dan juga prasarana pemerintahan seperti:
·         Jalan
·         Jembatan
·         Pasar
·         Pertanian dan
·         Irigrasi.


Kondisi fisik ini dapat berupa letak geografis, dan sumber-sumber daya alam. Letak geografis sebuah desa sangat menentukan sekali percepatan didalam sebuah pembangunan. Letaknya strategis, dalam arti tidak sulit untuk dijangkau akibat relif geografisnya. Kecepatan proses pembangunan dan perkembangan suatu kelurahan juga sangat ditentukan oleh itensitas hubungannya dengan dunia luar, mobilitas manusia dan budaya akan mempercepat perkembangan desa itu sendiri. Menurut B.S Muljana (2001:3) pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah umumnya yang bersifat infrastruktur atau prasarana, yaitu bangunan fisik ataupun lembaga yang mempunyai kegiatan lain dibidang ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan.

Sumber daya alam yang terdapat dimasing-masing desa. Dimana sebuah desa yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang banyak dari pada desa-desa lainnya, sehingga untuk mengembangkan atau dalam proses pembangunan desa akan jauh lebih baik dari pada desa yang sedikit mempunyai sumber daya alam,atau tidak ada sama sekali.

2.     Pembangunan non fisik
Didalam pembangunan suatu wilayah bukan hanya melakukan program pembangunan yang bergerak dibidang pembanguan fisik saja tetapi juga harus bergerak dibidang pembangunan non fisik atau sosial. Bachtiar Effendi (2002:114) oleh karena itu, pembangunan hendaknya harus adanya keseimbangan antara pembangunan fisik ataupun pembangunan non fisiknya. Yang menjadi bagian dari pembangunan non fisik atau sosial yaitu : 
    a. Pembangunan manusia
    b. Ekonomi
    c. Kesehatan
    d. Pendidikan.


Pembangunan non fisik berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia itu sendiri. Adapun pembangunan antara lain pembangunan di bidang kesehatan, pembangunan di bidang pendidikan, pembangunan di bidang   ekonomi dan lain sebagainya. Pembangunan non fisik mengedepankan sumberdaya manusia, dikarenakan dengan adanya pembangunan non fisik menjadi dasar untuk melakukan pembangunan fisik. Jangan sampai pembangunan bertumpu pada salah satu aspek saja, tetapi pembangunan tersebut haruslah bersinergi satu sama lain. Pembangunan non fisik dilakukan guna meningkatkan taraf dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, baik peningkatan dan kesejahteraan masyarakatnya dalam bidang pendidikan, kesejahteraan masyarakat bidang kesehatan maupun kesejahteraan dalam bidang lainnya. Oleh karena itu peran manusia dalam pembangunan nonfisik perlu diperhatikan. Usaha dibidang pembangunan non fisik dapat dijalankan dengan cara membimbing atau guiding,cara persuasi melalui telinga dan mata (audio visual), dan dapat dengan cara memberi stimulasi. Ketiga cara tersebut dilakukan agar masyarakat dapat tergugah untuk menimbulkan daya gerak serta dapat memberikan contoh konkrit pembangunan yang sebenarnya, sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik. Kondisi non fisik terdiri dari atas aspek-aspek sosial budaya politik, dan religi. Aspek sosial budaya dalam arti sempit merupakan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat yang masih ditaati. Misalnya kegiatan gotong royong,yang merupakan kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar kerja sama dan saling berpengertian. Dimana gotong royong yang dilakukan sebuah desa tidak hanya terbatas pada kerja sama dibidang pertanian saja, tetapi juga mencakup bidang pembangunan rumah dan lain sebagainya.

Perbincangan mengenai UU Desa No. 06 Tahun 2014 dan PP 43 Tahun 2014 dewasa ini tak bisa dihindari. Dana Rp1,4 miliar yang dimandatkan oleh UU melahirkan dua perspektif di berbagai kalangan, terutama masyarakat desa. Pertama, apakah dana tersebut secara langsung atau tidak mengalir ke desa. Kedua, apakah mekanisme pencairannya bertahap atau tidak. Perdebatan ini menjadi hangat diperbincangkan manakala UU Desa ini akan diterapkan pada tahun 2015.

Semangat untuk melakukan akselarasi kesejahteraan masyarakat desa dalam UU Desa tak bisa dimungkiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 4 mengenai Pembangunan Desa UU No. 6 Tahun 2014: a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; e) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h) memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Oleh karena itu perlu diapresiasi bahwa semangat UU ini merupakan terobosan baru agar stigma terhadap masyarakat desa bahwa desa menjadi hunian dimana masyarakatnya memiliki SDM rendah, ketinggalan akses informasi, terbelakang dan kemiskinan, jadi hilang. Itu semua menjadi potret kelam yang seringkali disematkan kepada masyarakat desa. Tentu penilaian ini di satu sisi memiliki keabsahan yang tidak bisa dibantah.

Munculnyna gerakan arus urbanisasi mengenai masyarakat desa mengadu nasib ke kota menjadi contoh yang paling sohih. Bahwa desa tidak mampu memberikan jaminan hidup dan kesejahteraan hidup bagi sebagian besar yang dialami oleh masyarakat desa. Maka wajar manakala desa dipandang sebelah mata dan dinilai terbelakang oleh kebanyakan orang yang dinilai tidak prospek dalam memberikan jaminan kesejahteraan untuk masa depannya.

Menjadi keniscayaan bahwa mendorong desa menjadi sejahtera dan mandiri adalah tanggung jawab semua pihak. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik desa maupun pemerintah daerah saja, melainkan keterlibatan semua pihak menjadi mutlak adanya. Kesejahteraan masyarakat desa, kemajuan desa, dan kemandirian desa tidak akan terwujud manakala seluruh elemen masyarakat dari berbagai kalangan berpartisipasi dalam membangun desa. Jika aspek legalitas yang menjadi ukuran, maka kesejahteraan masyarakat desa akan berhenti pada tataran normatif dan lip service. Jauh panggang dari api. Oleh karena itu semua stakeholder harus bersatu padu agar kesejahteraan desa benar terwujud.

Perlu kiranya merinci secara detail apa itu yang dimasud dengan mandiri dan kesejahteraan. Hal ini penting sehingga tidak melahirkan multitafsir, kriteria dan ukuran kesejahteraan dan kemandirian itu bersifat abstrak, yang sulit untuk dideskripsikan. Dengan demikian cita-cita UU Desa itu mengenai kesejahteraan masyarakat dan kemandirian itu tidak sekadar ilusi dan mimpi yang sulit dicapai.

Meminjam istilah Midgley (1997:5) dalam Isband Rukminto bahwa kesejahteraan sosial keadaan atau kondisi hidup manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik ketika kebutuhan manusia terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasi. Hal ini juga dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2009 Pasal I ayat (a) Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Begitu juga dengan makna dan pengertian mandiri. Menurut Basri (1995) kemandirian itu berasal dari kata mandiri. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, dimana dalam bahasa sehari-hari berarti berdiri sendiri. Lebih detail Basri mengatakan bahwa dalam perspektif psikologis bahwa kemandirian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Merunut dari berbagai definisi ahli bahwa pembangunan desa adalah sebagai upaya serius pemerintah untuk meningkakan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan bahwa kesejahteraan dan kemandirian desa hanya menjadi komoditas politik yang berimplikasi terhadap stagnasi dan degradasi tujuan kesejahteraan masyarakat desa.

Kawasan Perdesaan dan Tantangan

Spirit UU Desa dalam melahirkan desa maju dan mandiri tentu tak bisa dilakukan secara parsial. Jalan terjal membangun desa tentu akan menjadi bagian dari dinamika masyarakat dalam mengawal perubahan di mana jika sebelumnya desa hanya memikirkan mengenai desanya sendiri tanpa banyak memikirkan dan melakukan sinergi-koordinasi dan komunikasi dengan desa-desa lain atau desa tetangga yang secara geografis berdekatan. Pembangunan desa kawasan adalah ikhtiar baru pemerintah untuk menuju kemandirian desa.

Adalah Mohammad Solekhan dalam bukunya Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat (2014: 70-71) bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antardesa dalam satu kabupaten yang meliputi. Pertama, penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Kedua, pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Ketiga, pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan dan pengembagan teknologi tepat guna.Keempat, pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

Orientasi pembangunan kawasan perdesaan tersebut adalah mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Mandat UU Desa mengenai desa kawasan sebagai langkah progresif, dimana selama ini pembangunan yang sektoral dan egosentris bisa dieleminir secara perlahan-lahan. Impian kemandirian desa melalui sinergi dan kolaborasi antardesa dalam rangka mempercepat kesejahteraan masyarakat desa menjadi kebutuhan yang mendesak dan mutlak.

Pembangunan pelaksanaan kawasan perdesaan itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota melalui satuan kerja perangkat daerah, pemerintah desa dan/atau BUMD dengan mengikutsertakan masyarakat desa tentu dalam pelaksanaan teknis di lapangan bahwa pembangunan kawasan perdesaan wajib mengoptimalkan sumber daya alam setempat, sumber daya manusia setempat.

Dengan adanya mandat UU bahwa desa kawasan merupakan jangkar ekonomi desa bisa tumbuh secara kokoh. Pembangunan manusia dari sisi keterampilan dan kemampuan SDM harus bersenyawa dengan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi. Maka dari itu, kegiatan dan pengembangan ekonomi desa bisa bekerjasaa secara elegan yang bisa dilakukan oleh beberapa desa. Ketentuan mengenai jumlah desa kawasan memang tidak diatur secara mendetail, akan tetapi menjadi kebutuhan bersama bagi desa untuk sharing potensi antardesa, baik potensi manusia maupun sumberdaya alam. Bahkan pemasaran pun bisa melakukan sharing dan sinergi.

Maka jawaban mengenai desa kawasan seperti yang diamanahkan dalam UU Desa mengenai kerja sama antardesa atau dengan pihak ketiga. Bentuk kerjasama meliputi: 1) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; 2) kegiatan kemasyarakatan, pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa dan/atau; 3) bidang keamanan dan ketertiban. Sementara terkait kerja sama pihak ketiga dimaksutkan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.


Dalam hal ini yang lebih memungkinkan dilakukan adalah bahwa pihak ketiga yang dimaksud adalah bisa saja mengandeng perguruan tinggi yang ahli dan memiliki kualifikasi disiplin keilmuan mengenai permasalahan sosial, pengembangan masyarakat dan teknis pendampingan baik mikro, mezzo dan makro. Begitu juga bekerja sama dengan para aktivis LSM yang memiliki konsen dalam pemberdayaan masyarakat dan pemetaan sosial. Sehingga sinergi pembangunan desa tidak hanya menjadi domain pemerintah saja tetapi ada pihak luar yang lebih obyektif dalam melakukan pengembangan pembangunan desa. Semoga mimpi membangun kawasan perdesaan sebagai ikhtiar progresif dan profetik dalam membangun kesejahteraan masyarakat desa yang sebenar-benarnya. 
Penulis :
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun 
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan

Saat ini Kawasan Perdesaan sering dibicarakan dalam seminar dan lokakarya dan dirasakan menjadi instrumen yang tepat mengembangkan pedesaan khususnya pembangunan dari perdesaan. Tetapi masih terdapat kekosongan hukum yang mengatur kawasan perdesaan ini dalam Peraturan Pemerintah. Terdapat dua Undang Undang (UU) yang tegas menyebut Kawasan Perdesaan, yaitu Undang Undang Penataan Ruang no 26/2007 (UUTR) dan Undang Undang Desa no 6/2014 (UUDesa).

Tulisan ini bertujuan memberikan arah pengembangan kebijakan ini dan menempatkannya dengan peraturan perundangan lainnya, dengan tidak meninggalkan tujuan awal di bentuknya kawasan perdesaan. Memberikan arahan bagi penggiat Pembangunan Pedesaan yang memfasilitasi masyarakat dalam pengembangan pemetaan partisipatif, rencana tata ruang kabupaten, pengakuan keberadaan masyarakat adat serta perluasan wilayah kelola rakyat dalam berhadapan dengan usaha skala besar, untuk terus mengembangkan kawasan perdesaan ini bersama sama masyarakat

Dalam menjabarkan “kawasan perdesaan” sebagaimana amanat dalam UUTR dan UUDesa, perlu dicermati beberapa pasal berikut guna memberikan landasan yang kuat bagi pembentukan peraturan pemerintah terkait. Kedua UU ini menyebutkan kawasan perdesaan, akan tetapi keduanya menjabarkannya secara berbeda dengan tujuan yang berbeda pula (lihat gambar 1).

UU Tata Ruang menekankan pada suatu alokasi kawasan secara keruangan (spatial) dengan 6 arahan penggunaannya yang dipadankan dengan kawasan perkotaan, kawasan industri, kawasan pertambangan dan lainnya, diterjemahkan secara spatial dalam RTRW Kabupaten . Sedangkan kawasan perdesaan dalam UU Desa dibentuk melalui proses bottom up (Perdes dan kebijakan Kabupaten) meliputi hal hal yang berkaitan dengan infrastruktur fisik desa (jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, pasar dll), serta infrastruktur non fisik seperti teknologi yang digunakan dalam produksi dan konsumsi serta kelembagaan kerjasama antar desa, dll. Kedua hal ini sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan dari pedesaan guna menjalankan pembangunan dari desa atau wilayah perdesaan.

Diharapkan kawasan perdesaan dalam perencanaan tata ruang (Kabupaten) dapat membatasi investasi skala besar, memberikan alokasi wilayah kepada usaha pertanian, kehutanan, pertambangan dan perkebunan rakyat dan mendorong kawasan ini mengelola wilayahnya secara lestari, dengan infrastruktur fisik dan non fisik yang sesuai dengan kondisi perdesaan.

Bagaimana Kawasan Perdesaan berhadapan dengan peraturan per UUan lainnya ?

Disadari Kawasan Perdesaan tidak berdiri sendiri tetapi bersama sama dengan peraturan per undang undangan lainnya yang sering kali menimbulkan tumpang tindih, kompetisi atau saling mengisi, misal dengan UU Perlindungan & Pemberdayaan Petani/P3 no 19/2013 yang menyatakan sbb dalam pasal 7 dan pasal 12 : Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan melalui;
d. konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian;
g. penguatan Kelembagaan Petani
(1) Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disusun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan Petani. (Pasal 9)
Perlindungan Petani diberikan kepada (pasal 12):

a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani, memerlukan tanah, dan  menggarap paling luas 2 (dua) hektare; pekebun, peternak, hortikultura skala kecil

Sehingga terdapat lapis lapis penggunaan kebijakan ini untuk tujuan yang berbeda (lihat gambar 2)
Kawasan Perdesaan haruslah digunakan untuk membentengi wilayah perdesaan (rural areas) termasuk wilayah adat dari usaha-usaha skala besar (pertambangan, perkebunan, usaha kehutanan dan pertanian) yang bersaing bebas dengan usaha rakyat skala kecil. Kawasan Perdesaan tidak identik dengan wilayah administrasi desa, dapat berupa wilayah adat di pedesaan (bukan diperkotaan) atau didalam wilayah administrasi desa karena sering kita jumpai wilayah administrasi desa yang berbeda dengan wilayah adat. Didalam wilayah perdesaan ada wilayah yang memang direncanakan masyarakatnya untuk dikerjasamakan dengan usaha skala besar (kemitraan). Hal ini perlu diletakan di luar kawasan perdesaan tetapi masih masuk dalam wilayah desa atau wilayah adat. Sedangkan yang akan dikelola sendiri (swakelola) berada dalam kawasan perdesaan.

Untuk melindungi usaha tani produktif pangan, ada UU Perlindungan Pertanian Lahan Pangan Berkelanjutan (UU 41/2009) yang masuk dalam wilayah pertanian abadi didalam kawasan perdesaan, secara khusus untuk melindungi lahan lahan pertanian pangan dari konversi lahan, sedangkan Undang Undang Perlindungan Petani (UU 19/2013) pasal 12 secara khusus melindungi petani gurem berhadapan dengan petani kaya didalam kawasan perdesaan, dimana petani gurem perlu dilindungi dengan wilayah khusus yang dialokasikan bagi petani tak bertanah di dalam kawasan perdesaan, untuk menjalankan reforma agrarian di tataran lokal (desa atau wilayah adat).

Bagaimana Kawasan Perdesaan ini berhadapan dengan Kawasan Hutan dan APL dalam perencanaan tata ruang ?

Debat tentang kewenangan kawasan hutan yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) dan APL di Kementrian Agraria Tata Ruang (Kemen ATR) serta diperkuat dengan proses pembentukan RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten, sangatlah mendikotomikan 2 hal yang perlu diluruskan (Gambar 3).

Kesempatan mengembangkan kawasan perdesaan dapat membantu mem”bereskan” hal ini, mengembalikan kewenangan KemenATR dalam kewenangan menetapkan penguasaan tanah dan sumber sumber agrarian lainnya, dan KemenLHK pada kewenangan menjamin kelestarian fungsi hutan, dengan menggunakan momentum revisi PP 44/2004 tetang perencanaan hutan yang sudah di jadwalkan dalam NKB 12 KL/GNPSDA. Kekhawatiran membereskan dikotomi ini (APL vs Kawasan Hutan) selalu ditakutkan akan adanya free rider yang mengatasnamakan masyarakat, padahal nantinya yang menerima manfaat konversi Kawasan Hutan menjadi APL sering kali usaha skala besar non kehutanan. Pembentukan kawasan perdesaan yang berada di Kawasan Hutan dan luar kawasan hutan/APL dapat memberikan jaminan tidak adanya free rider atau pelepasan kawasan hutan atas nama masyarakat, karena kalaupun dia berada di dalam dan luar kawasan tetap alokasinya untuk masyarakat perdesaan.

Dikotomi antara pertanian dan kehutanan yang dipertegas dengan adanya kawasan hutan menjadi lebih cair setelah adanya kawasan perdesaan, dimana kawasan perdesaan yang berada di dalam kawasan hutan dapat digunakan dalam bentuk bentang alam yang beragam, dapat berupa usaha tani semi intensif (perladangan, wana tani dll), hutan tanaman rakyat, sampai dengan hutan alam. Ini sangat mendukung pada pendekatan holistik yang selama ini ditinggalkan dalam pembangunan perdesaan, dan juga menjadi pendukung dalam pengembagan program perhutanan sosial di KemenLHK dengan pendekatan holistik dan tidak terjebak pada pendekatan komoditas (pertanian, perkebunan dan kehutanan), walaupun pendekatan holistik ini hanya dapat dilakukan didalam kawasan perdesaan, untuk mengakomodir keragaman pola pola pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat.

Dengan ditetapkannya kawasan perdesaan, maka usaha perhutanan sosial tidak harus selalu berbasis komoditas hutan, tetapi dapat mengakomodir keberadaan sawah, ladang, dan pola wana tani lainnya yang dikenali masyarakat dalam bentang alam yang bercampur jadi satu mozaik, selain mengelola hutan alam yang sudah dilaksanakan selama ini. Hal ini perlu dipertegas dalam revisi PP 44/2004 tentang Perencanaan Hutan dengan memperkealkan definisi Kawasan Perdesaan dan apa yang dapat dilakukan didalamnya, serta dalam revisi PP 72/2010 tentang Perum Perhutani, serta revisi PP 40/1996 tentang HGU dan HGB yang menjelaskan wilayah kerjanyaPerum Perhutani, HGU tidak memasuki kawasan perdesaan ini, karena kawasan ini diprioritaskan untuk usaha rakyat skala kecil.

Bagaimana Kawasan Perdesaan dikembangkan dan dikelola ?
Kawasan Perdesaaan ini mengajak kita semua keluar dari pendekatan Kemen LHK yang terbiasa dengan pendekatan “command and control”, dengan pengelolaan bentang alam (landscape) dan keragaman mosaik (land use) didalamnya , maka pendekatan insetif dan disinsentif haruslah digunakan sebagai instrument monitoring atas perubahan bentang alam. Misal perubahan bentang alam yang dibolehkan hanyalah sekian persen dari bentang alam yang dapat diukur secara remote sensing secara cepat, dan peningkatan tutupan bentang alam seharusnya mendapatkan insentif baik didalam maupun diluar kawasan hutan. Selanjutnya kawasan perdesaan haruslah berkontribusi kepada kedaulatan pangan, energy dll, sehingga instrument insentif dan disinsentif dapat terus dikembangkan bukan hanya seputar jasa lingkungan, tetapi disesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pedesaan, yang tidak terlepas pada ketergantungan kota pada desa dan sebaliknya.

Demikian hal hal yang diperlukan dalam mengembangkan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Perdesaan yang perlu dicarikan jalan bagi pembentukannya, apakah melaui PP baru, Kawasan Perdesaan yang mengikuti amanat UU Desa dan UUTR, atau diselipkan pada revisi PP 43/2014 tentang Aturan Pelaksana UU Desa yang sebagian sudah mengakomodir Kawasan Perdesaan amanat UU Desa (lihat pasal 115, 123-125 & 131 PP 43/2014) tetapi belum mengakomodir 6 arahan kawasan perdesaan sebagai dalam bentuk spatial (keruangan).
Penulis adalah Direktur Pengembangan Kebijakan, Samdhana Institute berbasis


Diberdayakan oleh Blogger.

Polling Pengunjung

Penterjemah

Popular Posts

Recent Posts

Tujuan Buat Blog

Media Komunikasi antar individu dan saling bertukar informasi misalnya jejaring sosial, Media expresi pribadi maupun kelompok, Menyediakan sarana penyebar Ilmu Pengetahuan, Tempat untuk belajar baik dengan interaktif langsung maupun Forum, Sarana berbagi file baik berupa program maupun data.