Urbanisasi
yang digerakkan oleh pasar membuat penduduk berlimpah, mengakibatkan sejumlah
akses tersumbat. Tiga di antaranya adalah air, perumahan dan sanitasi. Konon
350 kawasan perkotaan Asia Pasifik berkembang melampaui batas administratifnya,
sehingga memecah-belah manajemen dan sumber pendapatan penduduknya. (WB report; East Asia’s Changing
Urban Landscape: Measuring a decade of Spatial Growth).
Beberapa kota bahkan bergabung menjadi entitas. Namun
administrasinya masih diatur terpisah. Padahal seharusnya dapat dikelola oleh
satu manajemen kota. Inilah yang disebut dengan fragmentasi metropolitan (Axel van Trotensburg: 2015).Tengok
saja luas Jakarta yang melintasi 12 pemerintahan kabupaten/kota se-Jabodetabek,
menyatukan aktivitas penduduknya dalam sebuah kawasan yang berasal dari
provinsi berbeda, yakni DKI, Banten dan Jabar. Aktivitas sosiologis penduduk di
12 kota tersebut telah berbaur tanpa batas. Hanya, secara administratif mereka
harus terpisah. Jika kesenjangan desa-kota terus dibiarkan, akan banyak kota
bernasib sama: dikepung warga desa dan sub urban (pinggiran),
dengan segala perilakunya. Bekerja di Jakarta, tapi pulang ke Bogor, Depok atau
Bekasi.
Inilah mengapa perlu pembangunan yang diarahkan
berperspektif kawasan, yang memungkinkan kerja sama antardesa/kelurahan,
antarkecamatan bahkan antarkabupaten/kota. Apa manfaat yang diraih? Tentu saja
penyelesaian makin cepat, beban menjadi lebih ringan, tanggung jawab terbangun,
dan sumberdaya terbagi. Semua saling melengkapi.
Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemPUPR) terdapat 3 hal yang
menjadi kebutuhan dasar hidup warga, yaitu air, perumahan dan sanitasi.
Ketiganya akan ditangani secara komprehensif hingga dipastikan 100% rakyat
mampu mengakses air minum, 0 % permukiman kumuh hilang, dan 100% rakyat mampu
mengakses sanitasi yang layak.
Peningkatan
Kualitas Permukiman Desa-Kota
Saat ini, di seluruh negeri, masih terdapat 38.431 Ha
kawasan kumuh perkotaan. Lokasi kumuh tersebut tersebar di 231 kabupaten/kota
dan telah di SK-kan oleh kepala daerah untuk ditangani. Persoalannya, apakah
semua lokasi kumuh tersebut berada di kawasan perkotaan? Bagaimana yang berada
di lokasi perdesaan? Masihkah menjadi tanggung jawab KemPUPR? Sementara
regulasi Nasional telah membelah pemerintahan menjadi dua bidang: perkotaan dan
perdesaan. Kawasan Perkotaan dapat dicandrai dari wilayah administratifnya yang
berbentuk kelurahan, tunduk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Sementara itu, Kawasan Perdesaan ditandai dengan wilayah administratif
pemerintahan desa, berciri agraris dan didominasi mata pencaharian lokal
berdasar geografisnya, tunduk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
P2KP sebagai Program peningkatan kualitas permukiman,
yang notabene adalah bagian dari PUPR, telah kembali menjadi program sektor.
P2KP bermaksud menembus kotak-kotak desa dam kota tersebut. UU Pemda dan UU
Desa tetap digunakan sebagai landasan tanpa dikotomi. Bagi P2KP,
bertransformasi menjadi program sektor permukiman dan infrastruktur perlu
waktu. Namun di perkotaan lebih mudah, karena tinggal menguatkan perencanaan
kelurahan melalui PJM Pronangkis yang dimiliki masyarakat. Namun, di perdesaan,
harus meleburkan PJM Pronangkis terlebih dahulu ke dalam RPJM Desa. Upaya ini
tidak hanya dilakukan oleh P2KP. Semua program sektor lain harus menjalani
langkah serupa. Sebab, Pasal 79 UU Desa sudah meniadakan perencanaan lain di
luar RPJM Desa.
Dengan kata lain hanya RPJM Desalah yang legal dan
diakui. Maka dari itu seluruh energi masyarakat mesti dicurahkan fokus untuk
penyusunan RPJM Desa. Apalagi dana desa telah ditransfer ke rekening desa. PJM
Pronangkis yang dulu, dibuat hanya sebagai data sekunder pada proses pengkajian
desa. Dan, untuk selanjutnya P2KP akan konsisten menguatkan bidang pembangunan
khususnya pada sektor permukiman saja. Target peningkatan kualitas permukiman
2019 tercantum dalam RPJMN, yang disebut 100-0-100, sebagaimana dijelaskan di
atas. Namun, bagaimana P2KP menguatkan RPJM Desa?
P2KP
Menguatkan RPJM Desa
Sebagaimana diketahui, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)
Permendagri no 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa menyebutkan
bahwa RPJM Desa memuat: 1) Visi dan misi kepala desa, 2) Arah kebijakan
pembangunan desa, dan 3) rencana kegiatan yang meliputi: (a) penyelenggaraan
pemerintahan desa, (b) pelaksanaan pembangunan desa, (c) pembinaan
kemasyarakatan desa, dan (e) pemberdayaan masyarakat desa.
P2KP menguatkan RPJM Desa hanya pada bagian (b) dan (e),
bidang pembangunan dan pemberdayaan. Pada kedua bidang tersebut ditemukan
“lahan garap” sektor permukiman yang dikuatkan 100-0-100-nya. Sesuai dengan
penyebutan asli di dalam Pasal 6, kegiatan yang termasuk dalam sektor
permukiman tersebut, antara lain, lingkungan permukiman masyarakat desa, jalan
permukiman, air bersih berskala desa, sanitasi lingkungan, pelayananan
kesehatan dan pendidikan.
Kegiatan-kegiatan tersebut akan diasah dan dikorelasikan
agar memenuhi target 100-0-100, menggunakan 7 indikator permukiman dan
penanganan kumuh. Ketujuh indikator tersebut adalah keteraturan bangunan, jalan
lingkungan, pengelolaan sampah, air minum, drainase lingkungan, air limbah dan
pengamanan kebakaran.
Tak pelak semua SKPD mesti terlibat dalam penanganannya,
terutama Dinas PU, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda). Ketiga SKPD tersebut dalam Lokakarya Penguatan
RPJM Desa di Aceh 26-27 Agustus 2015, terbukti dan disepakati sebagai SKPD yang
paling bertanggung jawab untuk merencanakan pembangunan tersistem, mendesain
perencanaan antarkawasan, meningkatkan kualitas permukiman, membangun
infrastruktur, dan memberdayakan masyarakat termasuk penguatan peran berbasis
kesetaraan gender. Bagaimana pembagian perannya?
Di bidang pembangunan, P2KP hanya bagian dari sektor
pembangunan infrastruktur perdesaan yang berkorelasi dengan peningkatan
kualitas permukiman. Dalam pelaksanaannya akan menggunakan metode partisipatif
sebagaimana telah dikembangkan selama ini via PNPM Perkotaan. Dus, polanya
sejalan dengan pemberdayaan yang digerakkan oleh BPM. Dalam menyusun
perencanaan juga partisipatif dan sejalan dengan planning daerah yang telah
disusun oleh Bappeda. Baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau spatial plan, maupun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMDaerah) ataudevelopment plan. Selengkapnya tertuang
dalam gambar.
Situasi tersebut bisa berbeda-beda di tiap
wilayah/kabupaten/kota, sehingga pola kolaborasi di Aceh hanya ilustrasi. Bisa
diterapkan sesuai kondisi masing-masing daerah. Selengkapnya dapat dibaca pada
tulisan TA Sosialisasi OSP 10 Aceh Ma'mun Suryana tentang RPJM Gampong
100-0-100. (Baca: RPJM Gampong Berorientasi 100-0-100 Responsif Gender).
Benangnya adalah ada atau tidaknya kawasan kumuh di desa,
P2KP tetap menguatkan kualitas permukiman, akses air minum dan sanitasi yang
sehat. Sebuah keyword untuk
mengurangi kemiskinan hingga 2019 kelak. Tulisan ini sekaligus meng-updatetulisan
saya sebelumnya tentang Integrasi PJM Pronangkis ke dalam
RPJM Desa. [KMP-2]
Penulis :
Tomy Risqi TA Kelembagaan dan Fasilitasi Kegiatan Sosial
KMP P2KP wilayah 2