Saat ini Kawasan Perdesaan sering dibicarakan
dalam seminar dan lokakarya dan dirasakan menjadi instrumen yang tepat
mengembangkan pedesaan khususnya pembangunan dari perdesaan. Tetapi masih
terdapat kekosongan hukum yang mengatur kawasan perdesaan ini dalam Peraturan
Pemerintah. Terdapat dua Undang Undang (UU) yang tegas menyebut Kawasan
Perdesaan, yaitu Undang Undang Penataan Ruang no 26/2007 (UUTR) dan Undang
Undang Desa no 6/2014 (UUDesa).
Tulisan ini bertujuan memberikan arah
pengembangan kebijakan ini dan menempatkannya dengan peraturan perundangan
lainnya, dengan tidak meninggalkan tujuan awal di bentuknya kawasan perdesaan.
Memberikan arahan bagi penggiat Pembangunan Pedesaan yang memfasilitasi
masyarakat dalam pengembangan pemetaan partisipatif, rencana tata ruang
kabupaten, pengakuan keberadaan masyarakat adat serta perluasan wilayah kelola
rakyat dalam berhadapan dengan usaha skala besar, untuk terus mengembangkan
kawasan perdesaan ini bersama sama masyarakat
Dalam menjabarkan “kawasan perdesaan”
sebagaimana amanat dalam UUTR dan UUDesa, perlu dicermati beberapa pasal
berikut guna memberikan landasan yang kuat bagi pembentukan peraturan
pemerintah terkait. Kedua UU ini menyebutkan kawasan perdesaan, akan tetapi
keduanya menjabarkannya secara berbeda dengan tujuan yang berbeda pula (lihat
gambar 1).
UU Tata Ruang menekankan pada suatu
alokasi kawasan secara keruangan (spatial) dengan 6 arahan penggunaannya yang
dipadankan dengan kawasan perkotaan, kawasan industri, kawasan pertambangan dan
lainnya, diterjemahkan secara spatial dalam RTRW Kabupaten . Sedangkan kawasan
perdesaan dalam UU Desa dibentuk melalui proses bottom up (Perdes dan kebijakan
Kabupaten) meliputi hal hal yang berkaitan dengan infrastruktur fisik desa
(jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, pasar dll), serta infrastruktur non
fisik seperti teknologi yang digunakan dalam produksi dan konsumsi serta
kelembagaan kerjasama antar desa, dll. Kedua hal ini sangat dibutuhkan untuk
mendorong pembangunan dari pedesaan guna menjalankan pembangunan dari desa atau
wilayah perdesaan.
Diharapkan kawasan perdesaan dalam
perencanaan tata ruang (Kabupaten) dapat membatasi investasi skala besar,
memberikan alokasi wilayah kepada usaha pertanian, kehutanan, pertambangan dan
perkebunan rakyat dan mendorong kawasan ini mengelola wilayahnya secara
lestari, dengan infrastruktur fisik dan non fisik yang sesuai dengan kondisi
perdesaan.
Bagaimana
Kawasan Perdesaan berhadapan dengan peraturan per UUan lainnya ?
Disadari Kawasan Perdesaan tidak berdiri
sendiri tetapi bersama sama dengan peraturan per undang undangan lainnya yang
sering kali menimbulkan tumpang tindih, kompetisi atau saling mengisi, misal
dengan UU Perlindungan & Pemberdayaan Petani/P3 no 19/2013 yang menyatakan
sbb dalam pasal 7 dan pasal 12 : Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan
melalui;
d.
konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian;
g.
penguatan Kelembagaan Petani
(1) Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disusun oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan
Petani. (Pasal 9)
Perlindungan
Petani diberikan kepada (pasal 12):
a.
Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani,
memerlukan tanah, dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; pekebun,
peternak, hortikultura skala kecil
Sehingga terdapat lapis lapis penggunaan
kebijakan ini untuk tujuan yang berbeda (lihat gambar 2)
Kawasan Perdesaan haruslah digunakan
untuk membentengi wilayah perdesaan (rural areas) termasuk wilayah adat dari
usaha-usaha skala besar (pertambangan, perkebunan, usaha kehutanan dan
pertanian) yang bersaing bebas dengan usaha rakyat skala kecil. Kawasan
Perdesaan tidak identik dengan wilayah administrasi desa, dapat berupa wilayah
adat di pedesaan (bukan diperkotaan) atau didalam wilayah administrasi desa
karena sering kita jumpai wilayah administrasi desa yang berbeda dengan wilayah
adat. Didalam wilayah perdesaan ada wilayah yang memang direncanakan
masyarakatnya untuk dikerjasamakan dengan usaha skala besar (kemitraan). Hal
ini perlu diletakan di luar kawasan perdesaan tetapi masih masuk dalam wilayah
desa atau wilayah adat. Sedangkan yang akan dikelola sendiri (swakelola) berada
dalam kawasan perdesaan.
Untuk melindungi usaha tani produktif
pangan, ada UU Perlindungan Pertanian Lahan Pangan Berkelanjutan (UU 41/2009)
yang masuk dalam wilayah pertanian abadi didalam kawasan perdesaan, secara
khusus untuk melindungi lahan lahan pertanian pangan dari konversi lahan,
sedangkan Undang Undang Perlindungan Petani (UU 19/2013) pasal 12 secara khusus
melindungi petani gurem berhadapan dengan petani kaya didalam kawasan
perdesaan, dimana petani gurem perlu dilindungi dengan wilayah khusus yang
dialokasikan bagi petani tak bertanah di dalam kawasan perdesaan, untuk
menjalankan reforma agrarian di tataran lokal (desa atau wilayah adat).
Bagaimana
Kawasan Perdesaan ini berhadapan dengan Kawasan Hutan dan APL dalam perencanaan
tata ruang ?
Debat tentang kewenangan kawasan hutan
yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) dan APL di
Kementrian Agraria Tata Ruang (Kemen ATR) serta diperkuat dengan proses
pembentukan RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten, sangatlah mendikotomikan 2 hal
yang perlu diluruskan (Gambar 3).
Kesempatan mengembangkan kawasan
perdesaan dapat membantu mem”bereskan” hal ini, mengembalikan kewenangan KemenATR
dalam kewenangan menetapkan penguasaan tanah dan sumber sumber agrarian
lainnya, dan KemenLHK pada kewenangan menjamin kelestarian fungsi hutan, dengan
menggunakan momentum revisi PP 44/2004 tetang perencanaan hutan yang sudah di
jadwalkan dalam NKB 12 KL/GNPSDA. Kekhawatiran membereskan dikotomi ini (APL vs
Kawasan Hutan) selalu ditakutkan akan adanya free rider yang mengatasnamakan
masyarakat, padahal nantinya yang menerima manfaat konversi Kawasan Hutan
menjadi APL sering kali usaha skala besar non kehutanan. Pembentukan kawasan
perdesaan yang berada di Kawasan Hutan dan luar kawasan hutan/APL dapat
memberikan jaminan tidak adanya free rider atau pelepasan kawasan hutan atas
nama masyarakat, karena kalaupun dia berada di dalam dan luar kawasan tetap
alokasinya untuk masyarakat perdesaan.
Dikotomi antara pertanian dan kehutanan
yang dipertegas dengan adanya kawasan hutan menjadi lebih cair setelah adanya
kawasan perdesaan, dimana kawasan perdesaan yang berada di dalam kawasan hutan
dapat digunakan dalam bentuk bentang alam yang beragam, dapat berupa usaha tani
semi intensif (perladangan, wana tani dll), hutan tanaman rakyat, sampai dengan
hutan alam. Ini sangat mendukung pada pendekatan holistik yang selama ini
ditinggalkan dalam pembangunan perdesaan, dan juga menjadi pendukung dalam
pengembagan program perhutanan sosial di KemenLHK dengan pendekatan holistik
dan tidak terjebak pada pendekatan komoditas (pertanian, perkebunan dan
kehutanan), walaupun pendekatan holistik ini hanya dapat dilakukan didalam
kawasan perdesaan, untuk mengakomodir keragaman pola pola pengelolaan sumber
daya alam oleh masyarakat.
Dengan ditetapkannya kawasan perdesaan,
maka usaha perhutanan sosial tidak harus selalu berbasis komoditas hutan,
tetapi dapat mengakomodir keberadaan sawah, ladang, dan pola wana tani lainnya
yang dikenali masyarakat dalam bentang alam yang bercampur jadi satu mozaik,
selain mengelola hutan alam yang sudah dilaksanakan selama ini. Hal ini perlu
dipertegas dalam revisi PP 44/2004 tentang Perencanaan Hutan dengan
memperkealkan definisi Kawasan Perdesaan dan apa yang dapat dilakukan
didalamnya, serta dalam revisi PP 72/2010 tentang Perum Perhutani, serta revisi
PP 40/1996 tentang HGU dan HGB yang menjelaskan wilayah kerjanyaPerum
Perhutani, HGU tidak memasuki kawasan perdesaan ini, karena kawasan ini
diprioritaskan untuk usaha rakyat skala kecil.
Bagaimana
Kawasan Perdesaan dikembangkan dan dikelola ?
Kawasan Perdesaaan ini mengajak kita
semua keluar dari pendekatan Kemen LHK yang terbiasa dengan pendekatan “command
and control”, dengan pengelolaan bentang alam (landscape) dan keragaman mosaik
(land use) didalamnya , maka pendekatan insetif dan disinsentif haruslah
digunakan sebagai instrument monitoring atas perubahan bentang alam. Misal
perubahan bentang alam yang dibolehkan hanyalah sekian persen dari bentang alam
yang dapat diukur secara remote sensing secara cepat, dan peningkatan tutupan
bentang alam seharusnya mendapatkan insentif baik didalam maupun diluar kawasan
hutan. Selanjutnya kawasan perdesaan haruslah berkontribusi kepada kedaulatan
pangan, energy dll, sehingga instrument insentif dan disinsentif dapat terus
dikembangkan bukan hanya seputar jasa lingkungan, tetapi disesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan pedesaan, yang tidak terlepas pada ketergantungan
kota pada desa dan sebaliknya.
Demikian hal hal yang diperlukan dalam
mengembangkan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Perdesaan yang perlu
dicarikan jalan bagi pembentukannya, apakah melaui PP baru, Kawasan Perdesaan
yang mengikuti amanat UU Desa dan UUTR, atau diselipkan pada revisi PP 43/2014
tentang Aturan Pelaksana UU Desa yang sebagian sudah mengakomodir Kawasan
Perdesaan amanat UU Desa (lihat pasal 115, 123-125 & 131 PP 43/2014) tetapi
belum mengakomodir 6 arahan kawasan perdesaan sebagai dalam bentuk spatial
(keruangan).
Penulis adalah Direktur
Pengembangan Kebijakan, Samdhana Institute berbasis
0 komentar:
Posting Komentar